Rabu, 26 Februari 2014

Biaya Sertifikasi Halal untuk Hotel, Restoran, dan Katering di Jakarta Rp 2,5 jutaan

Selasa, 17 Desember 2013 | 19:09 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berencana menerbitkan Peraturan Gubernur tentang sertifikasi halal untuk hotel, restoran, dan katering. Sertifikat halal yang dikeluarkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) itu mewajibkan kepada pemohon membayar uang administrasi sebesar Rp 2,5 juta.
"Rata-rata kena Rp 2,5 juta per gerai," ujar Direktur Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetik MUI Jakarta Osmena, Selasa (17/12/2013) di Jakarta.
Ia mengatakan, uang tersebut digunakan untuk memverifikasi bahan makanan beserta proses pengolahan makanannya sesuai standar islam. Sertifikasi halal tersebut berjangka waktu dua tahun. Selebihnya, hotel, restoran, atau katering harus memperpanjang dan melewati proses administrasi dan verifikasi yang sama.
"Tujuan Pergub ini, kan mayoritas warga Jakarta muslim. Dengan adanya sertifikasi ini, kami ingin menentramkan warga muslim melalui makanan halal dan proses pengolahan makanan halal," ujar Oesmena.
Dalam kesempatan yang sama, Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta Arie Budhiman mengatakan, sertifikasi halal ini memiliki dua poin penting. Sertifikasi mendorong pengusaha kuliner memakai sekaligus memproses bahan-bahan makanan yang bersih, sehat, serta baik. Sertifikasi halal juga penting agar pengusaha memiliki pasar yang besar.
Arie mengklaim, pasar kuliner halal di Jakarta sebesar 50 persen dari jumlah bisnis kuliner yang ada di seluruh DKI Jakarta. "Pergub itu sebetulnya tidak wajib, ini pilihan. Tapi halal food itu tren pasar dunia. Alangkah ironisnya Indonesia sebagai penduduk muslim terbanyak, pengusaha tak mengakomodir tren," ujarnya.
Saat ini, Pergub tersebut masih dalam tahap pembahasan akhir. Kendati demikian, sosialisasi bagi hotel, restoran, dan katering itu telah mulai dilakukan. Pergub itu akan disahkan pada pertengahan 2014 dan resmi berlaku di seluruh hotel, restoran dan katering di Ibu Kota.
Sumber:
http://megapolitan.kompas.com/read/2013/12/17/1909339/Biaya.Sertifikasi.Halal.untuk.Hotel.Restoran.dan.Katering.Rp.2.5.jutaan

Inilah Biaya untuk Bisa Raih Label Halal dari MUI

Rabu, 26 Februari 2014 | 14:46 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Sertifikasi produk halal utamanya untuk produk pangan, obat, juga kosmetik, dinilai masih perlu ada di Indonesia. Hal itu dibutuhkan sebagai perlindungan terhadap konsumen.
Direktur LPPOM Majelis Ulama Indonesia (MUI) Lukmanul Hakim mengatakan, untuk mendapatkan sertifikasi halal dari MUI perusahaan harus merogoh kocek mulai dari Rp 0 hingga Rp 5 juta per produk tergantung jenisnya, di luar biaya-biaya lain.

"Standar per sertifikat Rp 1 juta - Rp 5 juta untuk perusahaan menengah ke atas, dan untuk perusahaan kecil-menengah Rp 0 - Rp 2,5 juta. Ini di luar dari transportasi dan akomodasi, tergantung besar atau kecilnya perusahaan," kata Lukman, di Kantor MUI, Jakarta, Rabu (26/2/2014).

Biaya-biaya untuk mendapatkan sertifikat halal, lanjut Lukman, dibebankan ke perusahaan. Biaya tersebut merupakan biaya jasa yang digunakan untuk mengaudit on desk ataupun on site(lapangan).

Adapun biaya tambahan di luar itu adalah biaya transportasi dan akomodasi seperti penginapan. Untuk hal ini pun, sambung Lukman, LPPOM hanya menerima tiket perjalanan, serta reservasi penginapan atau hotel. "Jadi tidak pernah dalam bentuk uang," imbuhnya.

Akomodasi ditentukan oleh perusahaan yang mengajukan sertifikasi karena merekalah yang mengetahui lokasi penginapan yang dekat dengan tempat produksi perusahaan, misalnya dekat dengan rumah potong hewan.

Atas dasar itu, Lukman menilai, adding cost tersebut tidak termasuk gratifikasi atau korupsi, melainkan hanya memudahkan proses audit on site. Itu pun, kata dia, juga disepakati dalam sebuah akad dengan perusahaan pengaju sertifikat halal.

Seusai akad dan hasil audit keluar, barulah output audit bisa dilanjutkan untuk dibahas di Komisi Fatwa MUI.

"Ini bukan biaya tambahan dadakan tapi sudah disepakati. Kalau di luar kota harus ada tiket pesawat sediakan hotel, dan kalau dalam kota ada jemput dengan mobil. Pembiayaan seperti itu," pungkasnya.

Sumber: http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2014/02/26/1446338/Inilah.Biaya.untuk.Bisa.Raih.Label.Halal.dari.MUI

LPPOM MUI Kaltim menerapkan Sistem Jaminan Halal HAS 23000


     Dunia usaha di bidang pangan, obat-obatan dan kosmetika semakin berkembang sejalan dengan kebutuhan manusia. Untuk memenuhi kebutuhan pasar industri pangan yang dulunya hanya diproduksi secara manual dan tradisional sekarang sudah dilakukan dengan mengunakan mesin. Sebagai contoh, siapa yang mengira bahwa keripik singkong, keripik tempe dan kerupuk udang sekarang dibuat oleh industri berskala internasional dengan kemasan yang mungkin lebih mahal daripada bahan baku isinya?
     Mau tidak mau, suka tidak suka, siapapun yang berminat berusaha di dunia ini harus mampu melakukan inovasi agar tidak tergilas persaingan yang ketat. Guna melengkapi diri dengan berbagai keunggulan agar mampu bersaing, para pelaku industri gencar menerapkan berbagai standard kualitas dalam perusahaannya.
     Standard kualitas pada dasarnya adalah menerapkan sebuah sistem yang cukup rapi sehingga ia dapat menjaga kualitas produk yang dihasilkannya meskipun sumber daya yang digunakan selalu berubah.
     Dengan semangat yang sama, bertepatan dengan ulang tahun yang ke 23, maka sejak bulan Maret 2012 LPPOM MUI memperkenalkan seri Sistem Jaminan Halal yang diberi nama HAS 23000.  HAS 23000 ini dimaksudkan untuk memberikan panduan lengkap bagi pihak yang terlibat dalam proses sertifikasi halal, baik instansi pemerintahan, pelaku usaha dan juga konsumen. 
     Buku  HAS 23000 ini dibagi menjadi dua bagian. Pertama tentang Persyaratan Sertifikasi: Kriteria Sistem Jaminan Halal (HAS 23000: 1) dan bagian kedua tentang Persyaratan Sertifikasi Halal: Kebijakan dan Prosedur (HAS 23000: 2). Selain itu LPPOM MUI juga menerbitkan buku tentang Pedoman pemenuhan Kriteria Sistem Jaminan Halal di Rumah Potong Hewan (HAS 23103) serta buku tentang Persyaratan Bahan Pangan Halal (HAS 23201). Kedua buku ini menjelaskan lebih rinci tentang pemenuhan persyaratan sertifikasi halal pada kegiatan penyembelihan hewan dan persyaratan bahan pangan halal.
     HAS 23000 pada dasarnya adalah kompilasi dari pedoman-pedoman yang pernah dikeluarkan oleh LPPOM MUI dan ditujukan kepada semua pihak yang ingin mengetahui persyaratan sertifikasi halal dari LPPOM MUI. Penyusunan HAS 23000 dimaksudkan untuk memberikan informasi tentang persyaratan sertifikasi halal bagi perusahaan yang ingin mensertifikasi halal produk-produknya, dan sebagai referensi bagi lembaga sertifikasi halal dunia yang diakui MUI, para professional, serta instansi pemerintah terkait yang selama ini terlibat dalam pembinaan sertifikasi halal.
     Merujuk ketentuan MUI yang menetapkan masa berlaku Sertifikat Halal (SH) adalah dua tahun, maka untuk menjaga konsistensi produksi selama masa berlakunya SH MUI, LPPOM MUI mendisain sebuah sistem yang dapat menjamin kehalalan produk di perusahaan pemegang Sertifikat Halal MUI, yang disebut Sistem Jaminan Halal (SJH).
     SJH harus dituliskan dalam suatu manual yang dapat diterapkan secara independen atau dapat terintegrasi dengan sistem manajemen lainnya. Penerapan SJH di perusahaan merupakan persyaratan dalam proses sertifikasi halal yang akan memberikan jaminan kesinambungan proses produksi halal. Oleh karena itu, HAS 23000 merupakan buku panduan penting bagi perusahaan dan siapa saja yang berkepentingan dengan sertifikasi halal.
     HAS 23000  berisi kriteria Sistem Jaminan Halal sebagai panduan bagi:
• Perusahaan yang akan menyusun dan menerapkan Sistem Jaminan Halal;
• Lembaga sertifikasi halal yang mensyaratkan Sistem Jaminan Halal dalam proses sertifikasi halal;
• Pemangku kepentingan halal lainnya, seperti masyarakat umum, pemerintah, dan lain-lain. Selain itu, dokumen ini juga menjelaskan tujuan utama penerapan Sistem Jaminan Halal dan prinsip-prinsipnya.
     Perusahaan bebas untuk memilih metode dan pendekatan yang diperlukan untuk memenuhi kriteria SJH. Untuk membantu perusahaan dalam menerapkan SJH, LPPOM MUI membuat dokumen yang terpisah, berupa Pedoman Kriteria SJH dan Pedoman Penyusunan Manual SJH untuk kategori perusahaan industri pengolahan (pangan, obat, kosmetika), Rumah Potong Hewan (RPH), restoran/katering, dan industri jasa (distributor, warehouse, transporter, retailer).

HAS 23000:1
Buku ini berupa Persyaratan Sertifikasi Halal: Kriteria Sistem Jaminan Halal. Kriteria SJH dalam dokumen ini berlaku umum untuk semua kategori perusahaan, meliputi perusahaan industri pengolahan (pangan, obat, kosmetika), Rumah Potong Hewan (RPH), restoran/katering, dan industri jasa (distributor, warehouse, transporter, retailer). Selain itu, dokumen ini juga memuat tujuan utama penerapan Sistem Jaminan Halal dan prinsip-prinsipnya.

HAS 23000:2
Kebijakan dan prosedur sertifikasi halal sebagai persyaratan yang harus dipenuhi perusahaan dalam mengajukan proses sertifikasi halal dijabarkan lebih rinci pada buku ini. Kebijakan dan prosedur sertifikasi halal dalam buku ini berlaku umum untuk semua kategori perusahaan, meliputi perusahaan industri pengolahan (pangan, obat, kosmetika), Rumah Potong Hewan (RPH), dan restoran/katering.
Selain mengikuti kebijakan dan prosedur sertifikasi halal dalam buku ini, perusahaan yang ingin memperoleh Sertifikat halal juga harus menerapkan Sistem Jaminan Halal yang ditetapkan LPPOM MUI pada dokumen HAS 23000:1.

HAS 23103
Rumah potong hewan (RPH) merupakan salah satu unit usaha yang sangat penting dalam menjaga kehalalan pangan yang beredar di masyarakat. Pada proses penanganan di dalam RPH terdapat salah satu tahap yang cukup kritis ditinjau dari segi kehalalan, yaitu proses penyembelihan hewan. Proses tersebut sangat menentukan halal atau tidaknya daging atau bagian lain dari hewan (lemak, tulang, jeroan, dan lainnya) yang dihasilkan.

HAS 23201
Salah satu kriteria yang harus dipenuhi oleh perusahaan dalam menerapkan Sistem Jaminan Halal (SJH) adalah pemenuhan persyaratan bahan pangan halal.  HAS 23201 berisi uraian rinci tentang bagaimana pemenuhan kriteria bahan sebagaimana dijelaskan pada buku HAS 23000.

Buku ini juga menjelaskan tentang pengetahuan bahan halal dan dokumen bahan yang harus dipenuhi untuk mendapatkan sertifikat halal dari MUI atau lembaga sertifikasi halal luar negeri yang diakui MUI. Di internal perusahaan, buku ini dapat berguna sebagai referensi bagi tim halal perusahaan sehingga dapat tercapai pemahaman yang sama antara perusahaan dan lembaga sertifikasi dalam memandang persyaratan bahan halal dan dokumen pendukungnya.

Buku ini disusun sedemikian rupa berdasarkan nama dan jenis bahan, kemungkinan asal usul bahan, titik kritis keharaman bahan dan dokumen pendukung yang diperlukan. Untuk memudahkan pembaca dalam memahami secara utuh tentang pengetahuan bahan pangan halal maka nama dan jenis bahan dituliskan dalam urutan abjad sedangkan untuk nama bahan tambahan (additives) ditulis berdasarkan urutan kodenya (e-number).

Pedoman ini diharapkan dapat memenuhi kebutuhan akan penjelasan tentang titik kritis keharaman bahan pangan dan dokumen pendukung yang harus dipenuhi untuk membuktikan bahwa bahan tersebut halal.  Besar harapan kami buku ini dapat dengan mudah digunakan baik bagi perusahaan dan profesional yang terlibat dalam proses sertifikasi halal.

Sabtu, 15 Februari 2014

OLIMPIADE HALAL ANTAR SMU/Sederajat SE-INDONESIA

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Kepada Bapak Ibu yang memiliki anak yang duduk di SMU/SMK/MAN/Sederajat, juga siswa SMU pemerhati halal, ada Olimpiade Halal yang bisa diikuti, berikut pengumumannya: 

DIGELAR!! OLIMPIADE HALAL ANTAR SMU/Sederajat  SE-INDONESIA
 
Dengan penerapan gaya hidup halal “Halal is My Life” disegala aspek kehidupan oleh generasi muda, maka akan terbentuk generasi yang sehat, cerdas dan berakhlak mulia. Kedepan akan lahirlah pemimpin-pemimpin bangsa yang dapat diandalkan untuk kemajuan dan kesejahteraan Bangsa Indonesia sesuai dengan harapan kita bersama.
 
Dalam rangka memeriahkan seperempat abad milad,  Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) mengadakan Olimpiade Halal  untuk siswa SMU/sederajat  tingkat nasional. Hal ini dilaksanakan juga dalam rangka sosialisasi halal kepada generasi muda khususnya siswa SMU/sederajat agar senantiasa memperhatikan dan menerapkan gaya hidup halal dalam kehidupan sehari-hari, sesuai dengan tema Olimpiade Halal 2014, yaitu: Halal is My Life.            
 
Perkembangan teknologi informasi yang pesat dapat mempermudah manusia dalam berkomunikasi. Agar pelaksanaan olimpiade halal dapat berjalan lebih efektif dan efisian serta dapat menjangkau seluruh  provinsi di Indonesia, maka pelaksanaannya menggunakan sistem  online yang dicreate oleh LPPOM MUI yaitu HaLO LPPOM MUI (Halal Learning Online LPPOM MUI) yang telah di-launching bersama Menteri Koordinator  Bidang Perekonomian RI Dr. Ir. HM. Hatta Rajasa.
 
KETENTUAN LOMBA
A.     PESERTA
 
Peserta adalah siswa SMU/Sederajat dapat mewakili sekolahnya masing-masing.atau individu. Jumlah peserta tidak dibatasi untuk tiap sekolah
 
B.     MATERI LOMBA
 
Pengetahuan tentang halal dan haram sesuai dengan Al Qur’an dan Hadits, Prosedur Sertifikasi Halal dan Sistem Jaminan Halal (Dapat diunduh di HaLO LPPOM MUI), Pengetahuan mengenai studi Islam, Pengetahuan umum.
 
C.      PENDAFTARAN PESERTA
 
1. Pendaftaran mulai tanggal 11 Januari 2014 s.d. 15 Februari 2014
2. Pendaftaran dilakukan secara online melalui www.halalmui.org, dengan klik  tombol di bagian kiri atas website yang bertuliskan ‘HaLO LPPOM MUI’
3. Materi dapat diunduh melalui HaLO LPPOM MUI setelah melakukan pendaftaran (Semakin cepat melakukan pendaftaran, semakin banyak waktu untuk mempelajari materi yang diujikan)
4. Tidak dikenakan biaya
5. Manual penggunaan HaLO LPPOM MUI untuk pelaksanaan Olimpiade Halal terlampir
 
D.     SISTEM PELAKSANAAN LOMBA
 
1. Pendaftaran dan pengunduhan materi dilakukan secara online melalui www.halolppommui.com sampai dengan 15 Februari 2014.
2. Pelaksanaan babak penyisihan dilakukan secara bertahap per regional yang terbagi ke dalam wilayah:
    a. Wilayah Sumatra, 17 Februari 2014
    b. Wilayah Kalimantan dan Sulawesi, 18 Februari 2014
    c. Wilayah Jawa, 19 Februari 2014
    d. Wilayah Bali, NTB, Timur, dan Indonesia Bagian Timur, 20 Februari 2014
    e. Waktu pelaksanaan ujian berdasarkan region sekolah, dapat dilihat di HaLO LPPOM MUI
3. Masing-masing peserta mengerjakan soal yang disediakan oleh LPPOM MUI melalui HaLO LPPOM MUI sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan berdasarkan regional. Pengawasan dilakukan oleh pihak sekolah masing-masing yang berkoordinasi dengan LPPOM MUI Provinsi.
4.Dari masing-masing provinsi akan diambil satu orang peserta dengan nilai terbaik untuk maju ke babak final.
5. Bagi peserta yang tidak masuk ke babak final tetapi dinyatakan lulus olimpiade halal dengan nilai memenuhi nilai kelulusan yang telah ditentukan oleh  LPPOM MUI, akan mendapatkan sertifikat kelulusan yang dapat diunduh langsung di HaLO LPPOM MUI.
6. Finalis akan diumumkan pada tanggal 28 Februari 2014 melalui website LPPOM MUI: www.halalmui.org.
7.   Pelaksanaan Final akan diselenggarakan secara serentak  mulai tanggal 10 Maret 2014 menggunakan HaLO LPPOM MUI. Final dilaksanakan dengan dua cara yaitu:
     a.  Mengerjakan soal-soal yang dilaksanakan serentak di seluruh provinsi pada tanggal 10 Maret 2014 Pukul 10.00 s.d. 11.00 WIB. Ujian dilakukan di LPPOM MUI Provinsi dengan pengawasan LPPOM MUI Provinsi.
   b. Penugasan membuat artikel dengan tema “Halal is My Life” yang dimulai pengerjaannya mulai tanggal 10 Maret 2014 dan diunduh ke HaLO LPPOM MUI  paling lambat tanggal 15 Maret 2014.
8. Pengumuman pemenang  akan dilaksanakan Tanggal 24 Maret 2014 melalui website: www.halalmui.org.
 
DEWAN JURI
Dewan juri terdiri atas ahli-ahli bidang Pangan, Obat, Kosmetika, Kimia, Mikrobiologi,Studi Agama Islam, Sertifikasi dan Sistem Jaminan Halal serta Teknologi Informasi dari Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia.
 
HADIAH PEMENANG

Trophy, Sertifikat, dan Tabungan Pendidikan sejumlah:
Juara I                    : Rp. 5.000.000,-
Juara II                   : Rp.   4.000.000,-
Juara III                  : Rp.  3.000.000,-
Juara Harapan I       : Rp.  2.000.000,-
Juara Harapan II       : Rp. 1.500.000,-
Juara Harapan III      : Rp.  1.000.000,-

Rabu, 12 Februari 2014

Insight: How Islamic are Islamic countries? A rejoinder

Prof. Komaruddin Hidayat, the rector of Syarif Hidayatullah State Islamic University (UIN), wrote an interesting column in Jakarta’s leading newspaper on Indonesian Islamicity. His article is a rejoinder to a study conducted by Scheherazade S. Rehman and Hossein Askari from George Washington University. 

Published in the Berkeley-based Global Economy Journal, Volume 10, 2010, this study examines if policies of the Muslim world were founded on Islamic teachings in comparison to those in non-Muslim countries. All up, 208 countries were studied.

Indicators such as economic opportunity, economic freedom, equal access to education, corruption, financial systems and human rights were used to measure the degree of Islamicity in those countries. The results were hilarious. “Most self-declared and labeled Islamic countries are not conducting their affairs in accordance with Islamic teachings — at least when it comes to economic, financial, political, legal, social and governance policies.”

Thus, this study was basically a critical assessment of the Muslim world with respect to their social, economic and political practices, which did not seem to confirm the substance of Islamic values. Not only that, this study put the Muslim world at the lower end of the list, but it also put many of the non-Muslim countries at a much higher position. New Zealand, for instance, was listed near the top as a result of this study. Luxembourg came second. The highest among the Muslim countries was Malaysia, at 38th place, whereas Indonesia, as the largest, predominantly Muslim country, ranked 140th.

In fairness, this is not a novel study. It may be the first to provide a theoretically based piece of empirical research, but certainly not the first to offer such a substantive opinion.

More than two decades ago, Imaddudin Abdulrahim, one of the country’s leading thinkers on Islamic monotheism, had often claimed that Ames, Iowa, was a microcosmic, or an exemplar, of an Islamic state. Of course, he understood well that this small Midwestern city was part of the United States, which is in no formal or informal sense regarded as being administered on the basis of Islamic sharia (law). 

On one occasion, Mohammad Natsir, the former premier and leader of the Islamic party Masyumi, who became one of the principal advocates to the idea of Islam as the basis of state, considered the US a Christian nation — something that wasn’t that difficult to accept especially during the presidency of George 
W. Bush. This is notwithstanding the fact that many students of American society and politics tend to see the US as a secular (democratic) state, where it is often perceived that the affairs of the state and religion are separated. 

But Imaddudin did not see Ames in the light of religious formality. Being a former student of Iowa State University for so many years, he knew well that no reference to Islam had ever been made in Ames’ day-to-day social, economic and political practices. Instead, recollecting my interview with him a long time ago when I was conducting my dissertation research, he weighed the day-to-day or regular practices of the people in Ames and regarded these as his parameters to judge this city as an Islamic abode. In doing so, he treated trust and justice as the two most important areas of reference.

Undoubtedly, he was so impressed by the fact that the people of Ames did not have to lock their houses when they were not at home, and yet no one in the community trespassed. Similarly, grocery workers would always be willing to exchange unsatisfactory goods or merchandise that was bought by customers — including broken eggs.

Trust and justice that had made the life in Ames so peaceful and secure was the key requirements he cited to call it Islamic. The realization of the principle of trust and justice in the people of Ames’ daily activities was for him a translation of Islamic sharia.

Imaddudin’s perception of Islamicity was comparable to that of Nurcholish Madjid, another prominent Muslim thinker. 

Both the Muslim intellectuals saw Islam beyond sharia, and beyond its textual appearances. 
Given the universal values of 
Islam (or any religions for that matter), they emphasized more the substantive elements of Islam. This was the reason why Imaddudin and Nurcholish were of the opinion that as long as a state adheres to the principle of trust and justice, and practices the substantive values of Islamic teachings, it suffices for them to be regarded as Islamic. Under such circumstances, the formal adoption of Islam as a referent point is not terribly important. 

In light of what has been presented, the study mentioned above saw religiosity or Islamicity more in a substantive than a formal or legal sense. Given the evaluation of the study, which puts many Islamic countries at lower ranks compared to their non-Muslim counterparts, it can be suggested that even in Muslim states, the day-to-day practices of their citizens do not always conform to or remain in accordance with Islamic teachings. 

In the meantime, the day-to-day practice of non-Muslim countries does not necessarily contradict Islamic doctrines. In fact, as demonstrated by New Zealand, the day-to-day practices of its citizens can be viewed as Islamic.

Had Imaddudin and Nurcholish remained alive, they would have definitely shared this rejoinder.

Source: http://www.thejakartapost.com/news/2011/11/12/insight-how-islamic-are-islamic-countries-a-rejoinder.html
Bahtiar Effendy, Jakarta | Insight | Sat, November 12 2011, 9:15 AM
The writer is dean of the School of Social and Political Sciences at the State Islamic University in Jakarta.

Sambutan Direktur LPPOM MUI Kaltim

Assalamu'alaikum wR.wB.
     Perkembangan ilmu pengetahuan yang sangat pesat menuntut peran serta para ulama dari berbagai bidang ilmu. Dikotomi ilmu pengetahuan sebagai dampak proses sekularisasi sudah saatnya dihilangkan. Saat ini ilmu agama dan sains sudah merupakan kesatuan yang hakiki yang harus disinergikan dalam mengupayakan tercapainya masyarakat yang madani.
     LPPOM MUI Kalimantan Timur merupakan salah satu LPPOM MUI daerah yang berupaya untuk menyelaraskan derap langkah MUI dengan perkembangan ilmu pengetahuan terkini khususnya bidang pangan, obat-obatan dan kosmetika, khususnya di Provinsi Kalimantan Timur.
     Pemanfaatan teknologi informasi merupakan salah satu cara komunikasi kami dengan para pemangku kepentingan di bidang halal. Blog sederhana ini didedikasikan kepada mereka, agar dapat dijadikan rujukan dalam menegakkan kesucian agama Islam melalui penyebarluasan pemahaman tentang halal. Masih sangat sederhana, namun kami berharap akan berguna.
Wassalamu'alaikum wR.wB.
Direktur LPPOM MUI Prov. Kaltim

drh. H. Sumarsongko, M.M.

PANDUAN UMUM SISTEM JAMINAN HALAL LPPOM – MUI


I. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
     Setiap produsen harus memenuhi kebutuhan dan hak konsumen, termasuk konsumen Muslim. Memproduksi produk halal adalah bagian dari tanggungjawab perusahaan kepada konsumen muslim. Di Indonesia, untuk memberikan keyakinan kepada konsumen bahwa produk yang dikonsumsi adalah halal, maka perusahaan perlu memiliki Sertifikat Halal MUI.
     Sesuai ketentuan MUI, masa berlaku Sertifikat Halal adalah dua tahun. Selama masa tersebut, perusahaan harus dapat memberikan jaminan kepada MUI dan konsumen Muslim bahwa perusahaan senantiasa menjaga konsistensi kehalalan produknya. Oleh karena itu LPPOM MUI mewajibkan perusahaan untuk menyusun suatu sistem yang disebut Sistem Jaminan Halal (SJH) dan terdokumentasi sebagai Manual SJH. Manual ini disusun oleh
produsen sesuai dengan kondisi perusahaannya.
1.2. Tujuan
Tujuan penyusunan dan penerapan SJH di perusahaan adalah untuk menjaga kesinambungan proses produksi halal, sehingga produk yang dihasilkan dapat selalu dijamin kehalalannya sesuai dengan ketentuan LPPOM MUI.

II. Definisi dan Terminologi
2.1. Definisi
     SJH adalah suatu sistem manajemen yang disusun, diterapkan dan dipelihara oleh perusahaan pemegang sertifikat halal untuk menjaga kesinambungan proses produksi halal sesuai dengan ketentuan LPPOM MUI.

2.2. Terminologi Proses Sertifikasi Halal
1. Sertifikasi Halal
Sertifikasi Halal adalah suatu proses untuk memperoleh sertifikat halal melalui beberapa tahap untuk membuktikan bahwa bahan, proses produksi dan SJH memenuhi standar
LPPOM MUI.
2. Audit
Audit adalah suatu pemeriksaan independen, sistematis dan fungsional untuk menentukan apakah aktivitas dan luarannya sesuai dengan tujuan yang direncanakan.
3. Auditor LPPOM MUI
Auditor adalah orang yang diangkat oleh LPPOM MUI setelah melalui proses seleksi kompetensi, kualitas dan integritasnya dan ditugaskan untuk melaksanakan audit halal. Auditor LPPOM MUI berperan sebagai wakil ulama dan saksi untuk melihat dan menemukan fakta kegiatan produksi halal di perusahaan.
4. Audit Produk
Audit produk adalah audit yang dilakukan terhadap produk dengan melalui pemeriksaan proses produksi, fasilitas dan bahan-bahan yang digunakan dalam produksi produk tersebut.
5. Audit SJH
Audit SJH adalah audit yang dilakukan terhadap implementasi SJH pada perusahaan pemegang sertifikat halal.
6. Sertifikat Halal
Sertifikat Halal adalah fatwa tertulis yang dikeluarkan oleh MUI yang menyatakan kehalalan suatu produk yang merupakan keputusan sidang Komisi Fatwa MUI berdasarkan proses audit
yang dilakukan oleh LPPOM MUI.
7. Sertifikat SJH
Sertifikat SJH adalah pernyataan tertulis dari LPPOM MUI bahwa perusahaan pemegang sertifikat halal MUI telah mengimplementasikan SJH sesuai dengan ketentuan LPPOM
MUI. Sertifikat tersebut dapat dikeluarkan setelah melalui proses audit SJH sebanyak dua kali dengan status SJH dinyatakan Baik (Nilai A).
8. Audit Memorandum
Audit Memorandum adalah surat atau alat komunikasi antara LPPOM MUI dan pihak yang diaudit tentang hasil audit yang membutuhkan tindak lanjut.
9. Evaluasi Hasil Audit
Evaluasi Hasil Audit adalah penilaian atas hasil audit melalui mekanisme rapat auditor.
10. Auditor Halal Internal
Auditor Halal Internal adalah staf atau beberapa staf internal perusahaan yang ditunjuk resmi oleh Manajemen Perusahaan sebagai staf untuk mengkoordinasikan pelaksanaan SJH.
11. Fatwa
Fatwa adalah hasil ijtihad para ulama terhadap status hukum suatu benda atau perbuatan sebagai produk hukum Islam. Dalam proses sertifikasi halal, fatwa merupakan status
kehalalan suatu produk.
12. LPPOM MUI
Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI), merupakan sebuah lembaga yang dibentuk oleh MUI dengan tugas menjalankan
fungsi MUI untuk melindungi konsumen muslim dalam mengkonsumsi makanan, minuman, obat-obatan maupun kosmetika.
13. Komisi Fatwa MUI
Komisi Fatwa MUI adalah salah satu komisi dalam MUI yang bertugas memberikan nasehat hukum Islam dan ijtihad untuk menghasilkan suatu hukum Islam terhadap persoalan-persoalan yang sedang dihadapi umat Islam. Keanggotaan komisi fatwa mewakili seluruh organisasi Islam yang ada di Indonesia.
14. Status perusahaan :

  1. Baru : Perusahaan yang belum memiliki SH MUI.
  2. Transisi : Perusahaan yang telah memiliki SH MUI namun audit implementasi SJH belum dilakukan
  3. Perpanjangan : Perusahaan yang telah mendapatkan status SJH minimal B (cukup) dan akan memperpanjang masa berlaku sertifikat halalnya.

15. Maklon
Layanan produksi oleh suatu perusahaan (Pihak I) untuk perusahaan lain (Pihak II) yang semua atau sebagian bahan disediakan oleh Pihak II. Produk menjadi milik Pihak II.

III. Sistem Sertifikasi Halal
3.1. Proses Sertifikasi Halal
SJH merupakan bagian tak terpisahkan dalam proses sertifikasi halal. Prosedur proses sertifikasi halal dapat dilihat pada Gambar 1.



Gambar 1. Diagram Alir Proses Sertifikasi Halal
Keterangan :
Pada diagram alir (Gambar 1) pengertian Dokumen SJH adalah sebagai berikut:
1. Untuk perusahaan baru yang belum memiliki SH MUI, Dokumen SJH yang dibutuhkan adalah :
a. Dokumen SJH berupa surat pernyataan di atas materai bahwa perusahaan bersedia menyerahkan Manual SJH Standard paling lambat 6 bulan setelah terbitnya SH.
b. Dokumen SJH berupa Manual SJH minimum yang terdiri dari klausul kebijakan halal, struktur manajemen halal dan ruang lingkup penerapan SJH.
2. Untuk perusahaan yang telah memiliki SH MUI namun audit implementasi SJH belum dilakukan, Dokumen SJH yang dibutuhkan adalah :
a. Dokumen SJH berupa Manual SJH Minimum terdiri dari : klausul kebijakan halal, struktur manajemen halal dan ruang lingkup penerapan SJH.
b. Dokumen SJH berupa Manual SJH Standar terdiri dari :

  1. Informasi Dasar Perusahaan
  2. Kendali Dokumen
  3. Tujuan Penerapan
  4. Ruang Lingkup Penerapan
  5. Kebijakan Halal
  6. Panduan Halal
  7. Struktur Manajemen Halal
  8. Standard Operating Procedures (SOP)
  9. Acuan Teknis
  10. Sistem Administrasi
  11. Sistem Dokumentasi
  12. Sosialisasi
  13. Pelatihan
  14. Komunikasi Internal dan Eksternal
  15. Audit Internal
  16. Tindakan Perbaikan
  17. Kaji Ulang Manajemen

3. Untuk perusahaan yang telah mendapatkan status SJH minimal B (cukup) dan akan memperpanjang masa berlaku SH-nya, Dokumen SJH yang dibutuhkan adalah :
a. Dokumen SJH berupa laporan berkala terkini dan Revisi Manual SJH (jika ada) atau copy status SJH minimal B atau Sertifikat SJH.
b. Dokumen SJH tidak diperlukan.

3.2. Jangkauan Aplikasi SJH
SJH dapat diterapkan pada berbagai jenis industri seperti industri pangan, obat, kosmetik baik dalam skala besar maupun kecil serta memungkinkan untuk industri berbasis jasa seperti importir, distributor, transportasi, dan retailer.
3.3. Siklus Operasi SJH
SJH merupakan kerangka kerja yang dipantau terus menerus dan dikaji secara periodik untuk memberikan arahan yang efektif bagi pelaksanaan kegiatan proses produksi halal. Hal ini perlu dilakukan mengingat adanya peluang perubahan baik secara internal maupun
eksternal: Perencanaan, Pelaksanaan, Pemantauan dan Evaluasi, Tindakan Koreksi

Kebijakan Halal
Pernyataan kebijakan halal adalah langkah awal dan menjadi dasar (jantung) dalam :
1. Menyusun Manual SJH (Planning)
2. Melaksanakan SJH (Implementation)
3. Memantau dan Mengevaluasi Pelaksanaan SJH (Monitoring and Evaluation)
4. Tindakan Perbaikan terhadap pelaksanaan SJH (Corrective Action)

Perencanaan (Planning)
Perusahaan menyusun manual SJH standar seperti urutan yang telah dituliskan pada keterangan di atas.
Pelaksanaan (Implementation)
Perusahaan melaksanakan semua yang telah direncanakan seperti tertulis dalam Manual SJH. Hal ini didukung dengan bukti-bukti pelaksanaannya.
Pemantauan dan Evaluasi (Monitoring and Evaluation)
Perusahaan memantau dan mengevaluasi seberapa jauh pencapaian pelaksanaan dapat memenuhi tujuan sesuai yang direncanakan.
Tindakan Perbaikan (Corrective Action)
Perusahaan memperbaiki kesalahan dan belajar dari kesalahan serta memperbaiki perencanaannya untuk mencapai hasil yang lebih baik.

3.4. Dokumentasi SJH
Dokumentasi SJH meliputi Manual SJH dan arsip pelaksanaan SJH (instruksi kerja, form, dll). Manual Halal harus ditulis terpisah, sedangkan arsip pelaksanaan dapat diintegrasikan dengan arsip dari sistem lain (HACCP, ISO, dan sebagainya).

3.5. Pemangku Kepentingan (Stakeholder)
Pemangku kepentingan terhadap proses sertifikasi halal antara lain:
1. Manajemen perusahaan
2. Auditor Halal Internal
3. LPPOM MUI
4. Komisi Fatwa MUI

IV. Prinsip-prinsip SJH
Prinsip-prinsip yang ditegakkan dalam operasional SJH adalah:
1. Maqoshidu syariah
Pelaksanaan SJH bagi perusahaan yang memiliki SH MUI mempunyai maksud memelihara kesucian agama, kesucian pikiran, kesucian jiwa, kesucian keturunan, dan kesucian harta.
2. Jujur
Perusahaan harus jujur menjelaskan semua bahan yang digunakan dan proses produksi yang dilakukan di perusahaan di dalam Manual SJH serta melakukan operasional produksi halal sehari-hari berdasarkan apa yang telah ditulis dalam Manual SJH.
3. Kepercayaan
LPPOM memberikan kepercayaan kepada perusahaan untuk menyusun sendiri Manual SJH nya berdasarkan kondisi nyata internal perusahaan.
4. Sistematis
SJH didokumentasikan secara baik dan sistematis dalam bentuk Manual SJH dan arsip terkait agar bukti-bukti pelaksanaannya di lingkungan perusahaan mudah untuk ditelusuri.
5. Disosialisasikan
Implementasi SJH adalah merupakan tanggungjawab bersama dari level manajemen puncak sampai dengan karyawan, sehingga SJH harus disosialisasikan dengan baik di lingkungan perusahaan.
6. Keterlibatan key person
Perusahaan melibatkan personal-personal dalam jajaran manajemen untuk memelihara pelaksanaan SJH.
7. Komitmen manajemen
Implementasi SJH di perusahaan dapat efektif dilaksanakan jika didukung penuh oleh top manajemen. Manajemen harus menyatakan secara tertulis komitmen halalnya dalam bentuk
kebijakan halal.
8. Pelimpahan wewenang
Manajemen memberikan wewenang proses produksi halalnya kepada auditor halal internal.
9. Mampu telusur
Setiap pelaksanaan fungsi produksi halal selalu ada bukti dalam bentuk lembar kerja yang dapat ditelusuri keterkaitannya.
10. Absolut
Semua bahan yang digunakan dalam proses produksi halal harus pasti kehalalannya. SJH tidak mengenal adanya status bahan yang berisiko rendah, menengah atau tinggi terhadap kehalalan suatu produk.
11. Spesifik
Sistem harus dapat mengidentifikasi setiap bahan secara spesifik merujuk pada pemasok, produsen, dan negara asal. Ini berarti bahwa setiap kode spesifik untuk satu bahan dengan satu status kehalalan.

Selasa, 11 Februari 2014

LPPOM MUI Kaltim menjajagi kerja sama dengan PT Kideco



LPPOM MUI Kalimantan Timur berkesempatan bertemu muka dengan jajaran PT Kideco Jaya Agung Site Batu Kajang, Batu Sopang Kabupaten Paser (10/2/14). Diterima oleh Bapak Suriyanto (Manager Corporate Social Responsibility) dan beberapa stafnya, LPPOM MUI Kaltim memaparkan latar belakang berdirinya LPPOM MUI, bidang kegiatan dan peran serta dalam melindungi dan menenteramkan ummat.
Pemaparan tersebut disambut dengan baik oleh pihak PT Kideco dan diharapkan dapat dilanjutkan dengan kegiatan nyata di lapangan. LPPOM MUI Kaltim diharapkan dapat memberikan gambaran kegiatan yang dapat dilakukan untuk membina duapuluhan lokasi binaan CSR PT Kideco ke depan. (Sulprab)

Sabtu, 08 Februari 2014

SILATURRAHMI LPPOM MUI PROVINSI KALTIM DENGAN BUPATI PENAJAM PASER UTARA


Direktur LPPOM MUI Provinsi Kalimantan Timur drh. H. Sumarsongko, MM melakukan kunjungan silaturrahmi kepada Bupati Penajam Paser Utara Drs. H. Yusran Aspar, MSi di kediamannya pada tanggal 3 Februari 2014 dengan didampingi oleh Kepala Bidang Audit dan SJH Sulistyo Prabowo, Ketua Umum MUI PPU H.M. Rifai Remba, Lc., MIS.  dan beberapa pengurus MUI PPU lainnya. Dalam kesempatan tersebut selain untuk memperkenalkan keberadaan lembaga juga disampaikan berbagai issue terkini dan bidang kerja yang ditangani oleh LPPOM MUI Provinsi Kalimantan Timur.
Sumarsongko menyatakan bahwa sertifiksi halal sekarang tidak lagi semata-mata domain agama, namun sudah menjadi domain ekonomi secara luas. Berbagai isu yang berkaitan dengan halal hampir selalu menjadi isu sensitif yang dapat menganggu stabilitas ekonomi. Betapa banyak usaha yang tutup karena tidak memperhatikan kepercayaan dan nilai-nilai agama yang diyakini mayoritas masyarakat Indonesia. “Sertifikat halal merupakan upaya MUI untuk memberikan kepastian hukum syar’i akan barang gunaan yang akan dikonsumsi ummat Islam, sehingga tidak ada lagi rasa khawatir untuk membeli makanan, minuman dan obat-obatan.”
 Namun kendala yang dihadapi MUI dalam pelaksanaan sertifikasi halal saat ini adalah kurangnya kesadaran masyarakat produsen tentang sertifikasi halal, karena sampai sekarang ini pengurusan serifikasi halal dianggap berbelit-belit dan terlalau mahal. Padahal dalam kenyataannya lebih dari 80 persen UKM telah mendapat bantuan dari dana APBD maupun APBN melalui institusi pemerintah terkait sehingga UKM tersebut mendapatkan sertifikasi halal secara gratis.

Dengan suasana obrolan yang akrab, Bupati PPU memberikan berbagai pandangan dan pengalamannya seputar pembahasan RUU Jaminan Produk Halal di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Patut dibanggakan bahwa beberapa hal yang penting dalam RUU JPH tersebut merupakan masukan dan pemikiran yang jeli dari beliau sebagai anggota DPR RI asal Kalimantan Timur. Komitmen Pemerintah Kabupaten PPU dalam menegakkan nilai-nilai keagamaan juga diwujudkan dengan dukungan penuh terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh Majelis Ulama Indonesia Kabupaten PPU.

MUI PPU MENGADAKAN SOSIALISASI SERTIFIKAT HALAL

Tanggal 4 Februari 2014 yang lalu Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Penajam Paser Utara (MUI PPU) bekerjasama dengan Pemerintah Kabupaten Penajam Paser Utara mengadakan sosialisasi sertifikat halal yang dikuti berbagai pelaku usaha bidang makanan dan minuman, Rumah Potong Unggas dan Rumah Potong Hewan serta dinas dan instansi SKPD terkait. Dalam acara yang berlagsung di ruang pertemuan Kantor Bupati PPU tersebut bertindak sebagai nara sumber adalah drh. H. Sumarsongko, MM (Direktur) dan Sulistyo Prabowo, STP, MP, MPH (Kepala Bidang Audit dan SJH) dari Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM MUI) Provinsi Kalimantan Timur. Sosialisasi dimaksudkan untuk menumbuhkan kesadaran akan pentingnya sertifikasi halal sebagai jaminan dari Majelis Ulama Indonesia terhadap kehalalan produk gunaan yang beredar di masyarakat.
Menurut H.M. Rifai Remba, Lc., MIS. , Ketua Umum MUI PPU, perkembangan ilmu dan teknologi dewasa ini menuntut peran dan tanggung jawab MUI yang lebih kompleks. Namun dengan daya dukung sumber daya yang serba terbatas maka dibutuhkan perhatian, bantuan dan kerja sama yang harmonis dari berbagai kalangan seperti pemerintah, pelaku usaha dan pengguna. Melalui sosialisasi tersebut, diharapkan akan muncul kesadaran dari setiap individu akan pentingnya mengkonsumsi pangan yang terjamin kehalalannya. Sebagai lembaga sosial yang sangat vital perananya, MUI memerlukan dukungan yang lebih tegas lagi dari pemerintah dalam bentuk Perda sehingga payung hukum kegiatan sertifikasi halal dapat lebih kuat dan diperhatikan.
Dalam sambutannya sekaligus membuka acara, Bupati PPU Drs. H. Yusran Aspar, MSi menegaskan bahwa halal sudah menjadi agenda nasional yang penting dengan digulirkannya RUU Jaminan Produk Halal di Dewan Perwakilan Rakyat. Sebagai mantan anggota komisi III DPR RI yang ikut aktif merumuskan RUU tersebut, beliau sangat gamblang memaparkan pentingnya masalah halal dan antusiasme dukungan Pemerintah Kabupaten untuk membantu peran serta Majelis Ulama Indonesia di dalamnya. Lebih lanjut bupati juga menyambut baik upaya sertifikasi halal ini karena mempunyai manfaat yang saling menguntungkan  antara kepentingan produsen dan konsumen, “kalau ada sertifaksi halal, kita akan merasa tenang dan konsumen akan pasti beli, yang mengakibatkan  produsen meningkat dan  usaha kita akan maju karena dengan sertifikasi halal konsumen merasa terjamin keamanannya,”terangnya. Dalam konteks yang lain beliau juga prihatin dengan maraknya jajanan berbahaya bagi anak sekolah. “Bayangkan saja,  jika di sekolah anak-anak kita di suguhi barang-barang yang tidak halal mengadung banyak formalin, zat perwarna tentu ada kekawatiran pada orang tua, Sertifikasi halal ini sangat penting, untuk mensejahterakan masyarakat Penajam Paser Utara yang berkualitas, mandiri, hidup dalam berkeadilan dan agamis. Maka untuk itu, perlu kesadaran antara produsen dan konsumen selalu memperhatikan sertifikasi halal ini untuk  kemasyalakatan umat.”
Acara sosialisasi diakhiri dengan pemberian bantuan dana operasional dari Pemerintah Kabupaten PPU kepada  MUI PPU yang diwakili oleh empat pengurus MUI dari semua kecamatan yang ada di PPU yaitu Penajam, Babulu, Sepaku dan Waru.