Rabu, 12 Februari 2014

PANDUAN UMUM SISTEM JAMINAN HALAL LPPOM – MUI


I. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
     Setiap produsen harus memenuhi kebutuhan dan hak konsumen, termasuk konsumen Muslim. Memproduksi produk halal adalah bagian dari tanggungjawab perusahaan kepada konsumen muslim. Di Indonesia, untuk memberikan keyakinan kepada konsumen bahwa produk yang dikonsumsi adalah halal, maka perusahaan perlu memiliki Sertifikat Halal MUI.
     Sesuai ketentuan MUI, masa berlaku Sertifikat Halal adalah dua tahun. Selama masa tersebut, perusahaan harus dapat memberikan jaminan kepada MUI dan konsumen Muslim bahwa perusahaan senantiasa menjaga konsistensi kehalalan produknya. Oleh karena itu LPPOM MUI mewajibkan perusahaan untuk menyusun suatu sistem yang disebut Sistem Jaminan Halal (SJH) dan terdokumentasi sebagai Manual SJH. Manual ini disusun oleh
produsen sesuai dengan kondisi perusahaannya.
1.2. Tujuan
Tujuan penyusunan dan penerapan SJH di perusahaan adalah untuk menjaga kesinambungan proses produksi halal, sehingga produk yang dihasilkan dapat selalu dijamin kehalalannya sesuai dengan ketentuan LPPOM MUI.

II. Definisi dan Terminologi
2.1. Definisi
     SJH adalah suatu sistem manajemen yang disusun, diterapkan dan dipelihara oleh perusahaan pemegang sertifikat halal untuk menjaga kesinambungan proses produksi halal sesuai dengan ketentuan LPPOM MUI.

2.2. Terminologi Proses Sertifikasi Halal
1. Sertifikasi Halal
Sertifikasi Halal adalah suatu proses untuk memperoleh sertifikat halal melalui beberapa tahap untuk membuktikan bahwa bahan, proses produksi dan SJH memenuhi standar
LPPOM MUI.
2. Audit
Audit adalah suatu pemeriksaan independen, sistematis dan fungsional untuk menentukan apakah aktivitas dan luarannya sesuai dengan tujuan yang direncanakan.
3. Auditor LPPOM MUI
Auditor adalah orang yang diangkat oleh LPPOM MUI setelah melalui proses seleksi kompetensi, kualitas dan integritasnya dan ditugaskan untuk melaksanakan audit halal. Auditor LPPOM MUI berperan sebagai wakil ulama dan saksi untuk melihat dan menemukan fakta kegiatan produksi halal di perusahaan.
4. Audit Produk
Audit produk adalah audit yang dilakukan terhadap produk dengan melalui pemeriksaan proses produksi, fasilitas dan bahan-bahan yang digunakan dalam produksi produk tersebut.
5. Audit SJH
Audit SJH adalah audit yang dilakukan terhadap implementasi SJH pada perusahaan pemegang sertifikat halal.
6. Sertifikat Halal
Sertifikat Halal adalah fatwa tertulis yang dikeluarkan oleh MUI yang menyatakan kehalalan suatu produk yang merupakan keputusan sidang Komisi Fatwa MUI berdasarkan proses audit
yang dilakukan oleh LPPOM MUI.
7. Sertifikat SJH
Sertifikat SJH adalah pernyataan tertulis dari LPPOM MUI bahwa perusahaan pemegang sertifikat halal MUI telah mengimplementasikan SJH sesuai dengan ketentuan LPPOM
MUI. Sertifikat tersebut dapat dikeluarkan setelah melalui proses audit SJH sebanyak dua kali dengan status SJH dinyatakan Baik (Nilai A).
8. Audit Memorandum
Audit Memorandum adalah surat atau alat komunikasi antara LPPOM MUI dan pihak yang diaudit tentang hasil audit yang membutuhkan tindak lanjut.
9. Evaluasi Hasil Audit
Evaluasi Hasil Audit adalah penilaian atas hasil audit melalui mekanisme rapat auditor.
10. Auditor Halal Internal
Auditor Halal Internal adalah staf atau beberapa staf internal perusahaan yang ditunjuk resmi oleh Manajemen Perusahaan sebagai staf untuk mengkoordinasikan pelaksanaan SJH.
11. Fatwa
Fatwa adalah hasil ijtihad para ulama terhadap status hukum suatu benda atau perbuatan sebagai produk hukum Islam. Dalam proses sertifikasi halal, fatwa merupakan status
kehalalan suatu produk.
12. LPPOM MUI
Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI), merupakan sebuah lembaga yang dibentuk oleh MUI dengan tugas menjalankan
fungsi MUI untuk melindungi konsumen muslim dalam mengkonsumsi makanan, minuman, obat-obatan maupun kosmetika.
13. Komisi Fatwa MUI
Komisi Fatwa MUI adalah salah satu komisi dalam MUI yang bertugas memberikan nasehat hukum Islam dan ijtihad untuk menghasilkan suatu hukum Islam terhadap persoalan-persoalan yang sedang dihadapi umat Islam. Keanggotaan komisi fatwa mewakili seluruh organisasi Islam yang ada di Indonesia.
14. Status perusahaan :

  1. Baru : Perusahaan yang belum memiliki SH MUI.
  2. Transisi : Perusahaan yang telah memiliki SH MUI namun audit implementasi SJH belum dilakukan
  3. Perpanjangan : Perusahaan yang telah mendapatkan status SJH minimal B (cukup) dan akan memperpanjang masa berlaku sertifikat halalnya.

15. Maklon
Layanan produksi oleh suatu perusahaan (Pihak I) untuk perusahaan lain (Pihak II) yang semua atau sebagian bahan disediakan oleh Pihak II. Produk menjadi milik Pihak II.

III. Sistem Sertifikasi Halal
3.1. Proses Sertifikasi Halal
SJH merupakan bagian tak terpisahkan dalam proses sertifikasi halal. Prosedur proses sertifikasi halal dapat dilihat pada Gambar 1.



Gambar 1. Diagram Alir Proses Sertifikasi Halal
Keterangan :
Pada diagram alir (Gambar 1) pengertian Dokumen SJH adalah sebagai berikut:
1. Untuk perusahaan baru yang belum memiliki SH MUI, Dokumen SJH yang dibutuhkan adalah :
a. Dokumen SJH berupa surat pernyataan di atas materai bahwa perusahaan bersedia menyerahkan Manual SJH Standard paling lambat 6 bulan setelah terbitnya SH.
b. Dokumen SJH berupa Manual SJH minimum yang terdiri dari klausul kebijakan halal, struktur manajemen halal dan ruang lingkup penerapan SJH.
2. Untuk perusahaan yang telah memiliki SH MUI namun audit implementasi SJH belum dilakukan, Dokumen SJH yang dibutuhkan adalah :
a. Dokumen SJH berupa Manual SJH Minimum terdiri dari : klausul kebijakan halal, struktur manajemen halal dan ruang lingkup penerapan SJH.
b. Dokumen SJH berupa Manual SJH Standar terdiri dari :

  1. Informasi Dasar Perusahaan
  2. Kendali Dokumen
  3. Tujuan Penerapan
  4. Ruang Lingkup Penerapan
  5. Kebijakan Halal
  6. Panduan Halal
  7. Struktur Manajemen Halal
  8. Standard Operating Procedures (SOP)
  9. Acuan Teknis
  10. Sistem Administrasi
  11. Sistem Dokumentasi
  12. Sosialisasi
  13. Pelatihan
  14. Komunikasi Internal dan Eksternal
  15. Audit Internal
  16. Tindakan Perbaikan
  17. Kaji Ulang Manajemen

3. Untuk perusahaan yang telah mendapatkan status SJH minimal B (cukup) dan akan memperpanjang masa berlaku SH-nya, Dokumen SJH yang dibutuhkan adalah :
a. Dokumen SJH berupa laporan berkala terkini dan Revisi Manual SJH (jika ada) atau copy status SJH minimal B atau Sertifikat SJH.
b. Dokumen SJH tidak diperlukan.

3.2. Jangkauan Aplikasi SJH
SJH dapat diterapkan pada berbagai jenis industri seperti industri pangan, obat, kosmetik baik dalam skala besar maupun kecil serta memungkinkan untuk industri berbasis jasa seperti importir, distributor, transportasi, dan retailer.
3.3. Siklus Operasi SJH
SJH merupakan kerangka kerja yang dipantau terus menerus dan dikaji secara periodik untuk memberikan arahan yang efektif bagi pelaksanaan kegiatan proses produksi halal. Hal ini perlu dilakukan mengingat adanya peluang perubahan baik secara internal maupun
eksternal: Perencanaan, Pelaksanaan, Pemantauan dan Evaluasi, Tindakan Koreksi

Kebijakan Halal
Pernyataan kebijakan halal adalah langkah awal dan menjadi dasar (jantung) dalam :
1. Menyusun Manual SJH (Planning)
2. Melaksanakan SJH (Implementation)
3. Memantau dan Mengevaluasi Pelaksanaan SJH (Monitoring and Evaluation)
4. Tindakan Perbaikan terhadap pelaksanaan SJH (Corrective Action)

Perencanaan (Planning)
Perusahaan menyusun manual SJH standar seperti urutan yang telah dituliskan pada keterangan di atas.
Pelaksanaan (Implementation)
Perusahaan melaksanakan semua yang telah direncanakan seperti tertulis dalam Manual SJH. Hal ini didukung dengan bukti-bukti pelaksanaannya.
Pemantauan dan Evaluasi (Monitoring and Evaluation)
Perusahaan memantau dan mengevaluasi seberapa jauh pencapaian pelaksanaan dapat memenuhi tujuan sesuai yang direncanakan.
Tindakan Perbaikan (Corrective Action)
Perusahaan memperbaiki kesalahan dan belajar dari kesalahan serta memperbaiki perencanaannya untuk mencapai hasil yang lebih baik.

3.4. Dokumentasi SJH
Dokumentasi SJH meliputi Manual SJH dan arsip pelaksanaan SJH (instruksi kerja, form, dll). Manual Halal harus ditulis terpisah, sedangkan arsip pelaksanaan dapat diintegrasikan dengan arsip dari sistem lain (HACCP, ISO, dan sebagainya).

3.5. Pemangku Kepentingan (Stakeholder)
Pemangku kepentingan terhadap proses sertifikasi halal antara lain:
1. Manajemen perusahaan
2. Auditor Halal Internal
3. LPPOM MUI
4. Komisi Fatwa MUI

IV. Prinsip-prinsip SJH
Prinsip-prinsip yang ditegakkan dalam operasional SJH adalah:
1. Maqoshidu syariah
Pelaksanaan SJH bagi perusahaan yang memiliki SH MUI mempunyai maksud memelihara kesucian agama, kesucian pikiran, kesucian jiwa, kesucian keturunan, dan kesucian harta.
2. Jujur
Perusahaan harus jujur menjelaskan semua bahan yang digunakan dan proses produksi yang dilakukan di perusahaan di dalam Manual SJH serta melakukan operasional produksi halal sehari-hari berdasarkan apa yang telah ditulis dalam Manual SJH.
3. Kepercayaan
LPPOM memberikan kepercayaan kepada perusahaan untuk menyusun sendiri Manual SJH nya berdasarkan kondisi nyata internal perusahaan.
4. Sistematis
SJH didokumentasikan secara baik dan sistematis dalam bentuk Manual SJH dan arsip terkait agar bukti-bukti pelaksanaannya di lingkungan perusahaan mudah untuk ditelusuri.
5. Disosialisasikan
Implementasi SJH adalah merupakan tanggungjawab bersama dari level manajemen puncak sampai dengan karyawan, sehingga SJH harus disosialisasikan dengan baik di lingkungan perusahaan.
6. Keterlibatan key person
Perusahaan melibatkan personal-personal dalam jajaran manajemen untuk memelihara pelaksanaan SJH.
7. Komitmen manajemen
Implementasi SJH di perusahaan dapat efektif dilaksanakan jika didukung penuh oleh top manajemen. Manajemen harus menyatakan secara tertulis komitmen halalnya dalam bentuk
kebijakan halal.
8. Pelimpahan wewenang
Manajemen memberikan wewenang proses produksi halalnya kepada auditor halal internal.
9. Mampu telusur
Setiap pelaksanaan fungsi produksi halal selalu ada bukti dalam bentuk lembar kerja yang dapat ditelusuri keterkaitannya.
10. Absolut
Semua bahan yang digunakan dalam proses produksi halal harus pasti kehalalannya. SJH tidak mengenal adanya status bahan yang berisiko rendah, menengah atau tinggi terhadap kehalalan suatu produk.
11. Spesifik
Sistem harus dapat mengidentifikasi setiap bahan secara spesifik merujuk pada pemasok, produsen, dan negara asal. Ini berarti bahwa setiap kode spesifik untuk satu bahan dengan satu status kehalalan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar